Janganlah tolak beban tugas kewajiban
agar kau dapat menikmati pemukiman yang terbaik disamping Tuhan,
Usahakan taat dan patuh, wahai orang-orang yang ceroboh...
Kemerdekaan adalah hasil paksaan,...
Dengan taat, orang tak bernilai menjadi tinggi
(Muhammad Iqbal),
Begitulah salah satu
bunyi sajak sang arsitek negara Islam Pakistan sekaligus salah satu intelektual
Islam modern adab ke-20, Muhammad Iqbal. Tentunya rangkaian kata penuh makna
ini, pantas kita sambut dan dijadikan inspirator bagi seorang Penghulu di
Kantor Urusan Agama (KUA) lebih-lebih bagi institusi yang menaunginya yaitu
Kantor Urusan Agama diseluruh Indonesia.
Pendahuluan
Untuk mendapatkan
tempat mulia disisi Allah, setiap lembaga seperti KUA maupun perorangan harus
menaati aturan-aturan yang dibuat oleh Negara (baca : UU No. 1 tahun 1974 dan)
serta menjalankan Visi dan Misi bidang yang manaunginya ( baca juga : Visi dan
Misi Direktorat Urusan Agama Islam**) karena
dengan sikap taat dan patuh terhadap aturan-aturan yang mendasarinya, menjadikan derajat lembaga itu
lebih tinggi bahkan akan memperoleh kebebasan dari setiap permasalahan atau
penyimpangan yang mungkin lupa dilakukan, lebih-lebih bisa menjadi ladang
ibadah bagi pelakunya (Penghulu).
Hasil penelitian yang
dilakukan Moh. Zahidi (Baca : 25 tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan :
2003), khususnya di Jawa Timur, masih banyak praktek perkawinan dini,
perkawinan sirri dan poligami ilegal. Lebih parah lagi , fenomena
perkawinan yang tidak dihadiri oleh Kepala KUA/Penghulu dengan diwakilkan
kepada Pembantu Petugas Pencatat Nikah (P3N), dengan sebuah alasan kurangnya
petugas Pencatat Nikah (Penghulu) di KUA
Kecamatan. Padahal kurangnya Penghulu bisa diatasi jika menerapkan manajemen
waktu yang baik dan tepat, Bukankah seperti itu sebuah Lembaga Pemerintah yang
baik dan benar?.
Namun, bagaimana jika
tugas dan kewajiban KUA tersebut gagal dilakukan khususnya perannya dalam
menciptakan Keluarga sakinah, maka hal demikian yang menjadi pemikiran kita
semua.
Menuju Keluarga Sakinah
Mukti Ali, selaku
menteri Agama, pernah mengatakan dalam pidato penutupan kursus BP4 tanggal 8
Oktober 1972 bahwa untuk membangun negara yang kuat harus terdapat keluarga
yang kuat, membangun negara yang adil
harus tercipta negara yang adil, mendapatkan negara yang makmur harus
terbentuk negara yang makmur. Mustahil tercapai pembangunan negara tanpa
membangun keluarga dengan sebaik-baiknya.
Allah
SWT. menciptakan hukum perkawinan (keluarga) agar pasangan suami isteri menjadi
kekal, tidak mudah putus, tidak rapuh karena godaan dan selalu bahagia. Oleh
karena itu maka harus diusahakan ikatan ini terus terjaga keharmonisan dan
kepanasannya, agar jangan sampai lekas dingin, kurang bergairah bahkan
membosankan. Bertahun-tahun saling
mengenal
namun akhirnya pudar juga dikarenakan
kurang pemahaman tentang keluarga.
Istilah
keluarga Sakinah muncul berdasarkan firman Allah dalam surat ar-Rum (21) yang menyatakan tujuan
berkeluarga adalah untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman atas dasar
mawaddah warahmah. Kata “sakinah”
mempnyai arti ketenangan dan ketentraman jiwa. Dan disebutkan enam kali dalam
al-Qur’an yaitu surat
al-Baqarah (248), at-Taubah (26/40), al-Fath (4/18/26) serta dijelaskan bahwa
sakinah itu didatangkan oleh Allah kepada para nabi dan orang-orang yang
beriman agar tabah menghadapi tantangan dan musibah. Konsep keluarga sakinah
yang bernuansa agama ini mungkin solusi bagi keluarga modern seperti sekarang
ini. Dalam perkembangan hukum keluarga di Indonesia kita mengenalnya keluarga
Sakinah Mawaddah Warahmah. Sakinah bermaknah tenteram dan tidak gelisah,
Mawaddah bermakna penuh cinta dan Warahmah bermaknah kasih sanyang.
Melalui
BKKBN, Pemerintah telah berupaya untuk membina keluarga Indonesia untuk
menjadi keluarga yang sejahtera. Menurut UU No.10/1992 pasal 1/2, Keluarga sejahtera adalah keluarga yang
dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan
yang serasi, selaras dan seimbang antar keluarga dan masyarakat dan lingkungan.
Kemudian
pada tahun 2001, visi keluarga Indonesia lebih ditingkatkan, berubah dari
keluarga sejahtera menjadi keluarga berkualitas yakni keluarga yang sejahtera,
memiliki wawasan ke depan, sehat, maju, mandiri, bertanggung jawab, harmonis
dengan jumlah anak yang ideal dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga
sebagai salah satu contoh, bahwa profil keluarga berkualitas menurut BKKBN,
sebenarnya tidak lagi membatasi jumlah
anak, berapa saja asalkan mereka semua berkualitas dan terpenuhi
kesejahteraannya. Hal ini selaras dengan kesepakatan dunia dalam International Conference on Population and
Development (ICPD) di Kairo Mesir
1994, bahwa pendekatan pembangunan kependudukan yang selama ini menekankan
kepada kuantitas menjadi pendekatan kualitas dengan menghormati hak-hak azasi
manusia termasuk hak-hak reproduksi.
Kepartemen
Agama melalui Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No: D/71/1999 Bab III pasal 3,
telah mengelompokkan Keluarga Sakinah terdiri dari kelompok Pra Sakinah,
Keluarga Sakinah I, Keluarga Sakinah II, Keluarga Sakinah III, dan Keluarga
Sakinah III Plus. Indikator keberhasilan dari kreteria keluarga sakinah menurut
program ini adalah bila keluarga sudah mencapai kreteria keluarga sakinah III
Plus, yaitu keluarga yang dibina atas dasar perkawinan yang sah, mampu
mengamalkan dan menghayati serta mendalami nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia secara
sempurna, memenuhi kebutuhan sosial psikologis dan pengembangannya serta dapat menjadi
suri tauladan bagi lingkungannaya. Upanya Kementerian Agama inipun sebenarnya
merujuk kepada UU perkawinan No.1 1974 pasal 1/1 bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluaraga (rumah tangga) yang bahagia da kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Munculnya
UU No.1 1974 tentang perkawinan sebenarnya telah mengubah paradikma baru, yang
semula perkawinan hanya dipandang sebagai perbuatan ibadah saja, namun lebih
dari itu sebagai perbuatan sosial dan hukum. Maka pantaslah bila keluarga
dijadikan markas atau pusat dimana denyut pergaulan hidup bergetar. Karena
urusan keluarga bukan lagi urusan pribadi namun sudah menjadi perbuatan sosial
dan hukum.
Menurut Al-Qura’an Surat
Ar-Rum ayat 21 dijelaskan ada tiga kategori bahwa keluarga disebut Sakinah,
Mawaddah dan Rahmah (keluarga yang tenteram, penuh rasa cinta dan kasih
sayang serta bahagia) yaitu sebuah keluarga yang mampu memberikan kebahagiaan,
memberikan rasa cinta dan rasa kasih sayang terhadap seluruh anggota
keluarganya.
Kata mampu juga berarti
keluarga yang mampu memndidik dan membimbing anak dan isteri kepada jalan yang
benar berdasarkan nilai-nilai agama, mampu melanyani secara wajar, mampu
memberikan nafkah lahir maupun batin, mampu bersosialisasi dengan lingkungan
masyarakat serta bertanggung jawab.
Jadi keluarga sakinah
adalah keluarga yang dibina berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
hajat hidup lahir dan batin, spiritual dan material yang layak, menciptakan
suasana saling cinta dan sayang serta serasi dan seimbang berdasarkan
nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan
negara.
KUA sebagai institusi
paling bawah Kementerian Agama, diharapkan menjadi ujung tombak sekaligus penggerak utama (prime
mover) dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, lebih-lebih
pelaksanaan perkawinan dan rumah tangga dengan segala demensi permasalahanya.
Sehingga visi luhur Kementerian Agama dalam menjadikan agama sebagai inspirator
pembangunan, motivator terwujudnya toleransi beragama serta misi penghayatan
moral dan pendalam spiritual bisa terwujud. Maka lembaga yang pertama dan utama
yang bisa KUA bina adalah keluarga melalui perkawinan.
Peran KUA dalam Menciptakan
Keluarga Sakinah
Masih ingatkah kita,
Tajmahal di India, berdiri megah dan
mewah diukir dengan keringat cinta seorang Shah Jahan untuk isteri tercinta
Mumtaz, begitu juga menara Ifeel di Prancis, menjulang tinggi dan indah dengan cahaya
lampu, terpasang karena cinta. Termasuk Ka’bah di Mekah, dibagun sebagai tempat
dan sarana kecintaan Tuhan dengan mahluk-Nya.
Namun hal tersebut tidak akan terwujud bahkan tidak bermakna bila rasa cinta
yang ada tidak tersalurkan melalui cara yang benar. Sehingga bahtera cinta itu
hanya sebuah keindahan yang kering akan makna dan akhirnya menjadi sebuah aib
karena melanggar keimanan dan agama karena tidak memiliki tujuan akhir dari cinta sejati.
Maka bahtera cinta yang
benar dan bertanggung jawab itu, harus diawali dengan menikah, menikah yang
dirayakan oleh orang-orang berjasa disekitar kita, tetangga ikut menyaksikan
dan mendo’akan, Penghulu ikut mencatat serta orang tua menjadi wali dan mengijabnya.
Dari situlah awal kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah, Sang Pemilik Cinta.
Dengan menikah, ada
jaminan bahwa mereka akan sempurna dalam mengarungi samudera menuju pelabuhan
cinta yang diinginkan yaitu kebahagiaan yang dipraktekkan oleh pesona cinta
manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa kepada pemberi cinta yaitu Allah SWT.
Harapannya, KUA menjadi pelabuhan awal dari romantisme cinta yang
telah dibangun oleh sepasang manusia. Dengan berlabuh di KUA mereka akan
mendapatkan tiket, menjadi nahkoda sekaligus penumpang yang sah dan bahagia secara pribadi, sosial dan hukum. Tidak
ada lagi fitnah, curiga, masalah muncul dikemudian hari.
KUA sebagai lembaga keagamaan
di Kecamatan, berperan menciptakan kebahagiaan pasangan suami isteri tersebut,
peran itu dikenal dengan Misi Direktorat
Urusan Agama Islam. Hebatnya, andaikan
misi ini didukung dengan dana yang cukup serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas dan profesional maka Kementerian Agama dalam hal ini KUA, akan
menjadi lembaga yang dicari dan dibanggakan masyarakat. Misi itu adalah Pelayanan
Prima Dalam Pencatatan Pernikahan, Pengembangan Keluarga Sakinah, Pembinaan
Jaminan Produk Halal, Pembinaan Ibadah Sosial Dan Kemitraan Umat.
Sayang,
Realitas yang terjadi, Program-program hebat Kementerian Agama baik tingkat
Kanwil maupun Kabupaten tersebut, tidak bisa berjalan dengan baik “Laa
yamuutu wa laa yahyaa”, tidak
bisa bermutu karena tidak ada biaya ketika dilaksanakan di KUA Kecamatan,
sehingga terkesan dan terpaksa program KUA hanya pelayanan pencatatan Nikah dan
Rujuk saja.
Lantas, Apa peran KUA dalam menciptakan Keluarga
Sakinah?. Jawabannya adalah Lima Misi Direktorat Urusan Agama Islam itu sendiri
yang harus di kembangkan dan diperjuangkan anggarannya secara proporsional oleh pimpinan. Memang, semua tugas besar tersebut menjadi
tufoksi Bidang Urusan Agama Islam tentu juga menjadi tugas KUA di Kecamatan.
Tidak hanya itu, Pelayanan ibadah tahunan seperti Haji dan Zakat pun memerlukan
peran aktif KUA sebagai garda terdepan Kementerian Agama. Mengapa? Karena ke
lima misi itu adalah program hebat yang saling keterkaitan dan bersinergi.
Sehingga dari situlah keluarga sakinah akan terwujud bahkan menjadi keluarga
sakinah versi KUA.
Sebagai pelaksana Pencatatan Nikah secara Maksimal
Pernikahan
yang diawali dengan cinta dan dicatat adalah awal kebahagiaan pasangan pengantin baru. Dengan
dicatat, seseorang telah melaksanakan cinta tersebut dengan sungguh-sungguh dan
bertanggung jawab terhadap pasangannya, Sebab banyak orang yang harus ia
lindungi dan bangga padanya. Tidak hanya itu. Mencatatkan setiap peristiwa
perkawinan adalah bukti ketaatan seorang warga negara terhadap pemerintah.
Cinta
yang berlabuh di KUA, bukanlah sebuah kriminalisasi hukum-hukum Allah pada
aturan negara kita, selain pernikahan yang tercatat berdampak positi secara
agama, sosial dan hukum juga perlindungan secara hukum bagi masyarakat.
Sebagai Pembinaan Keluarga Sakinah (SUSCATIN)
Menjadi
keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah
adalah impian dari setiap pasangan pengantin. Bahkan kata indah bertabur makna tersebut selalu disampaikan
oleh setiap orang atau pembawa acara dalam walimatul nikah bahkan menjadi do’a
bagi kita. Jadi tidak cukup pernikahan itu hanya dicatat secara legal formal
saja.
Pembinaan
kepada calon pengantin sangat diperlukan baik sebelum maupun setelah
pernikahan. Dengan demikian diharapkan mereka mendapatkan bekal dan tambahan
pengetahuan tentang ilmu rumah tangga serta cara mempertahankannya.
Keluarga
yang memiliki taraf kedewasaan diri yang baik, dapat membina rumah tangga yang
harmonis karena dengan bekal kesiapan
mental yang dimiliki suami dapat menghadapi segal resiko yang bakal dihadapi dalam keluarga. Kasus
pernikahan dini, yang telah dilakukan Syek Puji dengan Lutfiana Ulfa, bahkan Kasus Manohara
dengan Pangeran Kerajaan Kelantan Malyasia, adalah bukti bahwa membangun keluarga
harus memiliki kesiapan mental yang cukup dan tidak bisa dipaksakan akibatnya
bukan kebahagian yang diperoleh namun masalah bahkan musibah. .
Kepemimpinan dalam rumah tangga,
misalnya. Dalam suarat an-Nisa ayat 34.
dijelaksan bahwa peminmpin dalam rumah tangga adalah suami (laki-laki), karena
laki-laki memiliki kemampuan lebih dari perempuan bahkan ia berkewajiban
memberi nafkah. Rasulullah pun menjelaskan dalam sebuah hadis bahwa laki-laki
pemimpin atau kepala dalam rumah tangga.
Isteri sebagai kepala selaku ibu rumah tangga dan merawat anak-anaknya.
Kepemimpinan
dalam keluarga
adalah upaya suami untuk menciptakan ketenteraman dan kebahagiaan dalam rumah
tangga. Dengan ketauladan seorang suami dalam membangun rumah tangga, serta
kasih sayang seorang ibu selaku ibu rumah tangga dengan melaksanakan
kewajibannnya masing-masing.
Bahkan
seorang isteri yang mengetahui bahwa suaminya memiliki kepribadian yang kuat
dan kepemimpinan bertanggung jawab, maka seorang isteri akan merasakan kedamaian dan kebahagiaan hidup bersama.
Sebagai Pembinaan Jaminan Produk Halal dan Haram
Rumah tangga yang dibangun
dengan keimanan dan ketaqwaan yang kuat kepada Allah akan mewujudkan rumah
tangga bahagia, setelah memahami tujuan berumah tangga dan pengetahuan keluarga
sakinah maka masing-masing suami ataupun isteri mampu memposisikan diri,
mengabdikan cinta dan kasih sanyang kepada pasangan dan anggota keluarganya.
Dengan keimanan, menyadarkan manusia akan keterbatasan dirinya, sehingga suatu keluarga tetap teguh memegang
aqidah yang telah dijelaskan oleh kitab suci al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Kemantepan beragama pun menjadi pendorong dan tempat untuk mengembalikan serta memecahkan masalah. Sehingga suami
isteri mampu melaksanakan
kehidupan beragama dalam keluarga diwaktu suka maupun duka. Bahkan Allah
menjamin bagi setiap manusia yang bertaqwa. penyelesaian setiap masalah dan mendapat rezeki yang tidak
disangka-sangka.
Berbeda
jika dalam
rumah tangga yang tidak didasari oleh nilai-nilai agama, keluarga ini akan
merasa gelisah dan bingung bila menghadapi masalah yang tidak kunjung selesai. Mereka lupa bahwa yang akan
memberikan kebahagiaan pada setiap orang termasuk keluarga adalah Allah, ia
pula yang akan mengalirkan rezeki kepada keluarga.
Maka, kebahagiaan tidak akan diperoleh
jika kita jauh dari Allah. Hanya keimanan dan agama yang akan selalu mengiringi
keluarga dalam mewujudkan keluarga yang sakinah dan kekal. Bahkan dalam
menjalani kehidupan berumah tangga sesuai dengan apa yang diperintahkan agama
bukan melakukan sesuai yang dilarang bahkan diharamkan oleh Allah SWT. Namun
sebaliknya jika hal keimanan ini pudar maka kegagalan bahkan perceraian akan
terjadi.
Produk halal dan haram juga, simbol dari perekonomian
keluarga muslim yaitu
perekonomian yang berdasarkan keimanan kepada Alllah. Karena Ia
pencipta dan pengatur rezeki manusia. Perekonomiaan yang dilandaskan pada agama
merupakan penciptaan kehidupan sejahtera di dunia dan akhirat. Kondisi ekonomi
yang baik dalam rumah tangga akan menambah kemesraan hubungan suami isteri. Namun, kondisi ekonomi yang baik,
tidak menjamin ketenangan dan kerukunan dalam rumah tangga pasti tercapai.
Setiap keluarga
muslim tetap memiliki derajat dan kewajiban yang sama terhadap Allah. Bila
kewajiban tersebut terlupakan maka mereka
hidup dalam kaca imajiner yang mejenuhkan bahkan mengakibatkan kegelisahan.
Berbeda
bila keluarga yang hidup dengan ekonomi yang baik, namun mereka mampu
menerapkan system perekonomian yang dilandasi dengan aqidah, keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran
serta selalu berdiri diatas usaha yang baik dan diridhoi oleh Allah, akan menjadi modal berharga dalam
mengantarkan rumah tangga yang
dibentuk menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Begitu
juga, mengkonsumsi makanan yang halal, merupakan perintah agama dan akan
berakibat baik kepada manusia. Berbeda dengan keluarga yang sering menjajankan
anggota keluarga dengan makanan yang haram, tentu hal tersebut berdampak kepada
pembentukan karakter keluaraga. Sesuatu
makanan yang halal berbeda dengan yang haram. Oleh karena itu. KUA
berperan dalam menciptakan keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan diakhirat bertemu dengan Allah dalam keadaan wara’ dengan perut
yang senantiasa terjaga dari makanan yang kotor dan diharamkan.
Sebagai Pembinaan Ibadah Sosial
Dampak
yang luar biasa bagi keluarga yang selalu menjaga dari makanan yang haram dan
mencari rezeki yang halal adalah dapat membentuk karakter manusia yang cinta
dan sayang kepada sesama.
Pengabdian
kepada masyarakat, ia buktikan dengan mengamalkan nilai-nilai ibadah sosial
dengan menyisihkan rizkinya untuk fakir miskin dan anak yatim, memeberikan
pembinaan dan perhatian penuh kepada pengidap penyakit mematikan seperti
HIV/AID dan kegiatan ibadah sosial yang
lainnya..
Sebagai Kemitraan Umat
Terakhir,
bila keluarga telah dikelola dengan nilai-nilai agama dan kebenaran yang penuh
dengan cinta kasih, maka akan menghasilkan keluarga yang peduli kepada sesama
dengan membangun sebuah kemitraan dan
kerjasama dengan orang lain maupun lembaga sosial keagamaan lainnya.
Kecintaan
sebuah keluarga kepada sesama, menggerakkan jiwa mereka untuk selalu
bekerjasama dengan orang lain bahkan sadar bahwa hidup saling membutuhkan sebagai
mahluk sosial. Apalagi ditopang dengan pendidikan, karena pendidikan
adalah
salah satu kunci
dari pencapaian kemajuan dalam hidup bermasyarakat,
melalui pendidikan dapat mempercepat proses perubahan nilai, meningkatkan mutu
dan kualitas anggota keluarga dalam. Banyangkan,
bila seorang isteri sekaligus sebagai
ibu memiliki wawasan yang luas dan keterampilan, memungkinkan dia mamapu mendidik dan menciptakan anak-anak
yang baik serta dapat bergaul dengan masyarakat secara menyenangkan.
Akhirnya
mereka akan sebar aroma kebahagiaan dalam rumah tangga, dengan menjadi contoh
dan tauladan keluarga lainnya sebagi pranata sosial yang sukses, kokoh,
bermanfaat bagi keluarga, masyarakat sekitarnya dan berguna bagi bangsa, negara
serta agama dengan predikat Keluarga Sakinah Teladan.
Kantor Yang
Berbasis Manajemen Syari’ah
Untuk
mewujudkan lima peran mulia KUA Kecamatan, maka harus merubah paradigma Menajemen
Modern
yang selama ini kita terapkan
menjadi manajemen Syari’ah. Merubah paradikma manajemen itu bukan menutup akan
kemajuan zaman tetapi mendasarinya dengan nilai-nilai agama.
Pada
kenyataannya, memang Manajemen
Perkantoran Modern telah memberikan manfaat dan
kemudahan kepada pemimpin sebuah
organisasi.
Menajemen Perkantoran Modern diartikan sebagai kantor yang
segala kegiatnnya serba komputerisasi. Sama halnya dengan Geoffry Mills (1990)
dalam bukunya ”Modern Office Management”, yang beranggapan bahwa
komunikasi dan pengelolaan data akan selalu mengalami kemajuan (BACA : Modul
diklat, LAN 2006). Termasuk pemanfaatan tehnologi informasi berbasis internet. Namun sampai sekarang belum mampu
merubah karakter lembaga kita, yang bernama KUA. bahkan boleh jadi
kendala aplikasi sistem ini disebabkan oleh problem struktural maupun kultural
yang sudah rapuh dan harus segera diperbaharui.
Keberadaan SDM,
baik pada aspek kualitas maupun kuantitas memang sangat menentukan kinerja,
produktifitas dan keberhasilan suatu institusi. Namun kualifikasi dan kualitas
SDM jelas dituntut seimbang antara “knowledge,
skill dan abiity” dengan komitmen
moral dan integritas pribadi. Bahkan melalui penekanan pada aspek moralitas
contohnya, diyakini sebagai kunci sukses (key success factor) bagi
setiap institusi termasuk Kementerian Agama ini.
Dalam rangka membangun dan menyiapkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal sesuai dengan program Pemerintah, perlu
merubah paradigma manajemen perkaantoran kita, yaitu shidiq, amanah, tabliq dan
fathonah. Selama kita konsisten dengan paradigma tersebut serta berjalan di
atas perinsip-perinsip itu, maka aktivitas pengelolaan organisasi akan berlangsung
dalam suasana berkeadilan, seimbang dan bermanfa’at. Bersamaan dengan itu SDM
yang disiapkan terhindar dari segala macam bentuk kebohongan, kecurangan dan penghianatan.
Percaya kepada kemampuan sendiri, tanpa
bergantung kepada orang lain atau konsep lain. Akan mendorong kita pada sebuah
perubahan besar. Perubahan yang baik bukan karena dipaksa namun didasari oleh
kesadaran dan kekuatan sendiri dengan berupaya membangun kekuatan teamwork yang
solid. Sehingga melalui kesiapan SDM yang bermoral, berilmu dan berketerampilan
serta percaya kepada kemampuan sendiri, maka pengembangan manajerial
perkantoran di negeri tercinta ini,
diharapkan akan bertumbuh dan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
SDM yang berbasis
Syariah
Berkaca pada perkembangan perbankan
syariah yang tumbuh sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan
minat masyarakat mengenai ekonomi syariah semakin bertambah. Dalam perkembangan
yang sangat menggembirakan ini disadari oleh banyak pihak bahwa kebutuhan
kepada SDM berbasis Syariah merupakan suatu keniscayaan.
SDM yang
berbasisi syariah adalah perilaku yang terkait dengan
nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika prilaku manusia dilandasi dengan
nilai tauhid, maka prilaku tersebut akan terhindar dari korupsi karena adanya pengawasan
dari Allah swt. yang akan mencatat setiap amal perbuatan manusia. Perbuatan
yang diharapkan dalam manajemen syariah adalah perbuatan yang bernilai abadi
dan menjadi amal ibadah.
Membangun manajemen syariah dalam sebuah institusi dan perkantoran modern
merupakan tantangan yang sekaligus sebagai peluang. Isu-isu actual seperti
remunerasi bagi PNS diberbagai diskusi dan media massa memang bukan sebuah jaminan untuk dapat mengangkat dan
menciptakan sebuah SDM yang professional dan unggul, akan tetapi wacana
tersebut akan mendorong tumbuhnya semangat kerja keras dan peningkatan kualitas
kinerja para pegawai sebagaimana yang dicita-citakan.
Ingat bahwa
manajemen
itu sendiri sudah ada dalam agama bahkan diperintahkan. Lihat ayat al-qur’an
surat al-Hasy ayat 18 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
Dalam perspektif manajemen syariah,
kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk (Q.s al-’Alaq/96:1-5) yang
diciptakan sebagai “hamba” yang semata-mata mengabdikan diri kepada Allah
Swt.(Q.s. al-Zariat/51:52), dan dalam waktu yang sama juga sebagai
“khalifah”(Q.s al-Baqarah/2:30) yang mendapat amanah untuk mengelola
bumi, meraih keselamatan dan kemaslahatan dunia dan akhirat adalah keyakinan
yang melandasi semua perilaku dan aktifitas manusia.
Melalui kedudukannya sebagai “pengabdi
Allah” (‘abd Allah), manusia menampilkan jati dirinya sebagai makhluk
yang senantiasa menjunjung tinggi moralitas (al-akhlaq alkarimah), sumber keunggulan dan kemulian
diri. Sementara dengan kesadaran sebagai “khalifah Allah” manusia
membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta keterampilannya memanfaatkan
anugerah Allah. Nabi Adam As. sejak semula memang diajarkan ilmu pengetahuan,
lalu dengan ilmu itu, manusia memperoleh keunggulaan (Q.s. al-Baqarah/2:31-34).
Atas dasar keunggulan itulah, maka bumi dengan segala isinya, dimanfaatkan
manusia sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Allah.
Sumber daya manusia yang handal berbasis
syariah pada hakikatnya harus diletakkan di atas fondasi kesadaran emosional
(hamba Allah) dan rasional (khalifah Allah). Tidak ada pertentangan antara
kesadaran emosional dengan kesadaran rasional dalam manajemen syariah. Sebagai
hamba Allah, manusia menjadi makhluk yang ta’at yang senantiasa melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan sebagai khalifah Allah, manusia
menjadi makhluk yang sukses dan berhasil.
Perpaduan antara keunggulan rasionalitas
dan keseimbangan emosional pada gilirannya akan melahirkan spirit yang
menghidupkan aktifitas yang mendapat pertolongan Allah dan mensukseskan misi mulia Kementerian Agama
tersebut.
Oleh karena itu, maka upaya untuk
membangun karakter (Character Building) pegawai kita dibutuhkan taulan dan contoh dari pimpinan, sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bila komitmen para pemimpin institusi kita berorientasi
pada syariat maka kemenangan akan dirasakan bahkan kesuksesan dan
kebahagiaan akan dinikamatinya dengan sempurna.
KUA Butuh Perencanaan Stategis
Menurut
John M. Bryson dalam bukunya “Perencanaan
Stetegis bagi Organisasi Publik”, pernecanaan stategis merupakan
perencanaan yang mendahulukan visi organisasi dari pada tujuan umum organisasi.
Setiap tujuan organisasi mungkin sangat jauh dari keberhasilan karena
keberhasilan itu bukan suatu hal yang konkrit pasti tercapai, namun
keberhasilan lebih pada suatu proses yang mengedepankan pemenuhan dan pelayanan
yang baik kepada obyek oraganisasi (masyarakat). Jika masyarakat merasa nyaman
dan terpenuhi kepentingannya berarti KUA telah melakukan proses yang akan
mengantarkan organisasi kepada tujuannya.
Bagi setiap
organisasi apalagi tergolong organisasi modern, tentunya harus merencanakan
programnya sebaik mungkin karena rasionalisasi perencanaan yang telah dilakukan
dan ditetapkan nantinya, akan berdampak pada berhasil atau tidaknya tujuan
organisasi.
Jika
perencanaan gagal dilakukan berarti organisasi itu telah mengalami stagnan
bahkan kemunduran, hal ini tidak kita inginkan. Begitu juga jika KUA hanya
mampu beraktifitas dikala musin nikah saja berarti telah menjauhkan diri
terhadap misi Bidang Urusan Agama Islam pada Kementerian yang bermotto iklas
beramal ini.
Kesimpulan
Keluarga yang seperti apa yang
dibutuhkan masyarakt sekarang. Saatnya kita kembali kepada hukum Allah,
insyaallah pasti benar dan menjadi penawar bagi rumah tangga yang selama ini
lebih mengikuti arus westernisasi. Dalam surat ar-Rum (21) dijelaskan ada tiga kategori disebut keluarga
yang sakinah, pertama, keluarga yang mampu memberikan kebahagian, memberikan
rasa cinta dan memberikan rasa kasih sayang terhadap anggota keluarganya.
Ada sebuah anekdok yang terkenal dikalangan aktifis
organisasi, bahwa perjuangan mahasiswa/pengamat sosial didasarkan pada
idealisme. Sedangkan para pejabat dan birokrasi berdasar pada realitas. Bila
mahasiswa berjuang berdasarkan idealism yang ada, namun birokras yaitu KUA
harus bisa membungkus realitas yang ada dengan sebuah idealisme yang bersih dan
bermartanbat, pembagunan keagamaan (religious
development) bangsa yang bernuansa agamis spiritual serta kreatif dan
berkualitas.
Sebagai akhir dari tulisan ini, maka melalui peran KUA
yang mulia ini, KUA harus lebih aktif lagi mengaktualisasikan fungsinya secara
profesiaonal dan proporsional, menjadikan setiap kegiatan sebagai amal ibadah
dan selalu terdepan dalam memberikan pembinaan keagamaan di masyarakat, menjadi
lembaga yang ideal dengan bersungguh-sungguh, bekerja keras dan berjuang untuk
menggapai cita-citanya.
(* Mulyadi : Penghulu Muda Kecamatan Sumbersari Kab.Jember).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar